[Oneshot] Phantasmagoria

Phantasmagoria

dk1317’s present

Yoon Jeonghan, Choi Seungcheol

AU, Drama, Family, Tragedy,Slight!Thriller, Fantasy, Sad

Oneshot

PG-17

Disclaimer: Idol milik Tuhan, ide milik saya, jika ada kesamaan ide mungkin kita jodoh/?
Terdapat adegan kurang nyaman dan kata-kata kasar.

.

“Entahlah. Apakah ini nyata atau hanya mimpi belaka.”

.

.

Kebisingan malam itu berakhir dengan tubuh terbang menjadi debu juga hiasan darah pada orang-orang tak bersalah yang hampir menutupi semua jalanan. Seorang lelaki berparas kekar terduduk lemas dengan getaran hebat pada tangan kanannya yang memegang senjata. Senjata dengan peluru khas bagi orang-orang sepertinya. Manik hitamnya menangkap sosok kecil ketakutan, memegang boneka kesayangan, memanggil ibu dan ayahnya yang telah tiada. Lelaki itu mendekati sosok itu, mengusap kepala kecil pemuda itu, merengkuhnya dalam pelukanberusaha menenangkan. Lelaki itu memeluknya dan membawanya pergi entah kemana.

“Siapa namamu, nak?” Tanya lelaki itu lembut

Sosok kecil itu mengeratkan pelukannya, tubuhnya bergetar, menjawab dengan sedikit ragu, “Yoon.. Jeong.. han..”

.

.

Krek

Suara pintu kayu terbuka langsung saja membuat langkah kaki seseorang dari lantai atas terdengar nyaring. Ia berlari menuju siapa yang telah membuka pintu rumahnya. Pemuda dengan baju sedikit kebesaran itu melebarkan matanya, ia berbinar melihat sosok di depannya.

Appa!” Pemuda itu memeluk lelaki pembuka pintu rumah di depannya itu

Lelaki itu tersenyum. Duduk jongkok mencoba mengatur ketinggian tubuhnya dengan sang anak. lelaki itu membalas pelukannya erat. Merindukan anak satu-satunya, Choi Seungcheol.

Appa pulang, Seungcheol,” ucapnya manis kemudian mencium gemas hidung putranya

Iris Seungcheol menangkap pemuda yang dibawa oleh Ayahnya. Sepertinya seumuran, hanya saja sedikit lebih pendek dari Seungcheol. Tuan Choi memperhatikan anaknya, dia tersenyum dan menarik Jeonghan mendekat.

“Seungcheol, mulai hari ini dia adikmu. Nama Yoon Jeonghan,” ujar Tuan Choi

Jeonghan menatap Seungcheol takut. Ia bersembunyi di belakang tubuh kekar Tuan Choi. Dengan tangan kanan memegang boneka kesayangan, dan tangan kiri menarik-narik jubah Tuan Choi. Lelaki kekar itu terkekeh. Ia menatap Seungcheol yang berbinar-binar. Seungcheol menyukainya. Dia suka punya Adik walaupun bukan dari rahim Ibunya yang sudah meninggal.

“Jeonghan! Ayo kita ke atas, mulai hari ini aku Hyung-mu!” Ujar Seungcheol penuh semangat

Ia menarik lengan kecil Jeonghan untuk mendekatinya. Ia memperhatikan Jeonghan dari atas hingga bawah, pemuda yang seumuran dengannya itu bersurai pirang halus, garis wajahnya lembut, matanya kecoklatan, dan kulitnya seperti salju. Bertolak belakang dengan Seungcheol yang bersurai cokelat, garang, matanya hitam, dan kulitnya tan.

Seungcheol tertegun. Ia memperhatikan baju dan juga boneka Jeonghan yang penuh dengan percikan darah. Seungcheol menatap Ayahnya yang sudah duduk di sofa, Ayahnya kelihatan sangat lelah. Seungcheol mengangguk mengerti, itu artinya Ayahnya baru saja ‘perang’.

“Sepertinya kita mandi dulu,” ucap Seungcheol dan berlari membawa Jeonghan menuju kamar mandi

.

.

Jeonghan sudah harum. Baju Seungcheol terlihat besar pada tubuh kecilnya. Boneka kesayangannya pun tergantung basah di jemuran sudut rumah. Seungcheol menarik Jeonghan menuju Ayahnya yang sedang memasak, mencoba memperlihatkan Jeonghan yang sudah tampan hasil kerja kerasnya. Tuan Choi terkikik, dia tahu Seungcheol menginginkan pujian dari Ayahnya itu. Ia mengacungkan kedua jempol, membuat semburat merah juga senyum yang merekah pada wajah putra kesayangannya. Jeonghan bingung, namun kemudian ia ikut tersenyum.

Malam itu, mereka makan bersama, bermain bersama, kemudian tidur bersama.

Tengah malam, Seungcheol membuka matanya yang lelah akibat tangisan dari Jeonghan. Jeonghan rindu keluarganya. Hati Seungcheol tersayat melihat pemuda yang baru saja menjadi Adiknya itu menangis meraungkan orang tuanya. Ayahnya tidak ada di sini untuk ia mintakan tolong, Ayahnya mungkin sedang tidur atau sibuk dengan tugas laporannya. Jadilah, Seungcheol memeluk Jeonghan, ia mencoba menenangkan.

“Sudah, Hyung di sini. Keluarga barumu di sini, ada aku dan Appa,” bibir mungil Seungcheol membisikan kata-kata manis itu pada Jeonghan

Jeonghan sesegukan. Tak lama dari itu, dengkuran lembut terdengar. Jeonghan kembali tertidur pulas. Seungcheol menghela napas, kemudian membaringkan Adiknya dan juga tubuhnya. Ia menyusul Jeonghan, tertidur pulas.

.

.

Bertahun-tahun berselang. Sekarang umur mereka sudah menginjak kepala dua, tepatnya 24 tahun. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka pergi menimba ilmu, bermain bersama anak tetangga atau teman sebaya, atau bahkan menghabiskan waktu dengan menonton televisi di rumah. Namun, hari ini sedikit berbeda. Tuan Choi pamit bekerja untuk kurang lebih tiga hari, setelah sekian lama ia tidak bekerja dengan menyita waktu yang lama. Ia menugaskan Seungcheol untuk menjaga Jeonghan.

“Ingat Seungcheol, jika ada apa-apa telepon Appa,” ujar Tuan Choi mengingatkan

Seungcheol mengangguk. Tuan Choi memeluk anaknya satu per satu kemudian pamit pergi bekerja. Jeonghan masuk rumah duluan disusul Seungcheol kemudian. Hari sudah pukul tujuh malam, Seungcheol berniat untuk memasak makan malam. Jeonghan hanya mengangguk, ia tidak paham urusan dapur sehingga ia putuskan untuk menonton televisi saja. Tak berselang berapa lama, teriakan Seungcheol mengagetkan Jeonghan. Ia berlari ke arah dapur.

“Ada apa, Cheol?” Tanya Jeonghan panik

Seungcheol menoleh, ia tertawa melihat wajah panik Adiknya yang tak lagi memanggilnya Hyung sejak umur delapan tahun itu. Seungcheol menggeleng kemudian memperlihatkan jarinya yang berdarah.

“Aku tak sengaja mengiris jariku,” ujar Seungcheol kemudian membasuh lukanya dengan air dan dengan cekatan mengambil kotak P3K kemudian menutup lukanya

Jeonghan bergeming. Memperhatikan setiap gerakan Seungcheol. Napasnya memburu, jantungnya berdegub dengan kencang. Aroma apa yang baru saja ia hirup? Manis dan menggiurkan. Jeonghan menelan ludahnya kasar. Tanpa ia sadari berjalan mendekati Seungcheol, mengendus tangannya.

“Jeonghan?” Panggil Seungcheol menyadarkan Jeonghan yang terbuai

Jeonghan tersadar. Seungcheol mengerjabkan matanya kemudian memperlihatkan lengannya yang dipegang erat oleh Jeonghan. Jeonghan langsung melepaskannya kemudian mengambil air dan meneguknya kasar.

“S-Sepertinya aku harus keluar sebentar,” ucap Jeonghan kembali membuat tanda tanya di kepala Seungcheol

.

.

Jeonghan mengatur napasnya yang memburu. Sepertinya ini sudah waktunya. Jeonghan mengacak rambutnya kasar, ia hilang kendali. Berlari dengan cepat ke hutan belakang rumah. Tak ada yang melihat kecuali satu orang yang sedari tadi diam-diam memperhatikan. Lima belas menit kemudian, Jeonghan kembali muncul. Berbedanya, sorot matanya berubah keemasan dan sudut bibirnya mengalir darah segar. Sosok yang memperhatikannya tercekat. Ia menutup mulutnya erat agar suaranya tak terdengar oleh Jeonghan yang mungkin saja dalam keadaan itu dapat mendengarnya lebih jelas.

Jeonghan membasuh wajahnya dengan air keran yang ada di perkarangan belakang rumah. Mengeringkannya dengan sudut bajunya, merapikan rambutnya. Kini ia sudah bersih. Matanya pun sudah kembali normal. Ia masuk ke dalam rumah, berjalan menuju dapur dan mendapati Seungcheol yang sudah selesai memasak.

“Oh, waktu yang tepat. Dari mana saja kau?” Tanya Seungcheol

Jeonghan mengusap tengkuknya, “hanya mencari udara,” bohongnya

Mereka pun menghabiskan waktu makan malam dengan damai. Setelah makan, Jeonghan memutuskan untuk langsung tidur, entah mengapa dia begitu lelah hari ini. Seungcheol hanya mengiyakan dan tak menanyakan lebih.

Jeonghan mematikan lampu kamar, ia menerawang. Apakah sudah waktunya? Hanya itu yang terus ia pikirkan hingga ia tertidur lelap.

.

.

Jeonghan membuka matanya begitu mendengar suara ricuh di luar sana. Jeonghan menggeram kesal. Disibaknya selimut dengan kasar dan dibukanya jendela kamar. Ramai orang berbondong-bondong membawa babi hutan dari arah hutan belakang rumahnya. Jeonghan tercekat, menelan ludahnya kasar. Ia menjauh dari jendela, mencoba tak melihat pemandangan apa dibawah sana.

Tok tok tok

“Jeonghan, jika kau sudah bangun ayo kita sarapan,” ujar Seungcheol

Jeonghan membuang napas. Ia mencoba menenangkan hatinya juga pikirannya.

“Jeonghan?” Panggil Seungcheol dari arah bawah

“Iya aku ke sana,”

.

.

“Kau dengar tadi, semua warga heboh melihat babi hutan sudah tak bernyawa di hutan belakang,” Seungcheol membuka cerita

Seungcheol terlihat begitu antusias sedangkan Jeonghan terlihat biasa saja mendengar Seungcheol mengoceh sendiri. Bodohnya Jeonghan, padahal ia ingin melupakan apa yang dia lihat tadi, tapi ia malah melupakan kalau saudara angkatnya itu senang bercerita. Pastinya dia akan menceritakan hal tadi padanya.

“Kudengar itu ulah vampir,” ujar Seungcheol

Jeonghan membelalakan matanya. Ia kemudian terkekeh, “kau percaya akan keberadaan vampir?” Tanya Jeonghan

Seungcheol mengangkat kedua alisnya kemudian mengingat suatu hal

“Ah, aku lupa bilang. Ayah kita itu pemburu vampir, tentu saja aku percaya akan adanya vampir,” jawab Seungcheol tanpa melihat ekspresi Adiknya berubah dengan sangat drastisbegitu menyeramkan.

Jeonghan membelalakan matanya. Wajahnya memanas, napasnya beradu, jantungnya berdetak kencang. Kepalanya pusing, ia baru saja mengingat sesuatu. Yah, dua puluh tahun yang lalu, kisah tentang bagaimana ia bisa menjadi bagian dari keluarga Choi ini dimulai. Bagaimana bisa ia melupakannya? Mungkin ini adalah efek bagaimana mereka merawatnya, membuatnya melupakan masa lalu kelamnya, masa lalu yang membuatnya memutuskan untuk ikut dengan Tuan Choi malam itu. Padahal Jeonghan tahu siapa dirinya dan apa dirinya itu, tapi malah terbuai dan tak mengingat masalah peliknya.

“Jeonghan? Kau sakit?” Tanya Seungcheol

Jeonghan tersadar. Ia meneguk air di gelasnya habis. Ia mengusap wajahnya dan mengacak-acak rambutnya kemudian menatap iris Seungcheol yang menyiratkan kekhawatiran.

“Sepertinya,” Jawab Jeonghan

Seungcheol berubah panik. Ia memegang dahi Jeonghan dan dahinya, sedikit ada perbedaan suhu, bukan suhu panas melainkan suhu dingin. Seungcheol tertegun, menatap kedua manik Jeonghan yang mendadak berubah keemasan, sedetik kemudian, mereka pingsan.

Lama sekali, Seungcheol membuka mata. Tersadar akan apa yang baru saja terjadi padanya, ia mencari sosok Jeonghan. Tergeletak di sampingnya. Bibir Jeonghan yang biasanya selalu merah, kini terlihat pucat, peluh membasahi tubuhnya. Seungcheol panik, mencoba mengangkat tubuh Jeonghan dan membawanya ke kamar.

Seungcheol menidurkan Jeonghan di kasur empuk kesayangannya. Seungcheol ingat Jeonghan mati gila tidak ingin satu kamar lagi dengannya sejak usia delapan tahun. “Gengsi, aku sudah besar,” ujar Jeonghan dengan rona merah. Seungcheol terkekeh mengingat masa lalu yang menyenangkan bersama Jeonghan.

Seungcheol mengusap peluh pada wajah Adik kesayangannya itu.  Seungcheol benar-benar menyayanginya walaupun bukan Adik kandungnya. Seungcheol tersenyum, ia kembali teringat masa kecil yang mereka lewati bersama. Bagaimana Seungcheol mengajarinya membaca, mengajarinya bersepeda, mengajarinya bermain baseball, membelanya ketika anak tetangga mengatainya, menenangkannya setiap ia menangis karena jatuh dan berdarah. Sungguh, Seungcheol ingin kembali ke masa itu. Sekarang, Seungcheol sudah jarang mendengarkan celotehan Jeonghan. Semakin bertambah usia, Jeonghan semakin menutup dirinya.

Seungcheol menghela nafas. Ia berjalan keluar kamar Jeonghan menuju kamarnya sendiri. Ia menekan nomor telepon Ayahnya, mencoba mengabarkan keadaan Adiknya. Seungcheol adalah anak penurut, jika Ayahnya berkata A maka Seungcheol harus melakukan A, maka dari itu Seungcheol menurut ketika Ayahnya bilang harus telepon jika ada apa-apa.

[Seungcheol?]

Appa, Jeonghan sakit,”

[Benarkah? Astaga, Appa baru bisa pulang besok. Kau bisa kan mengurusnya?]

Seungcheol mengulum senyum, “tentu,” jawabnya

Sedikit bercakap tentang makan malam, sarapan, juga cerita babi hutan tadi pagi, Seungcheol dan Tuan Choi menutup percakapan. Seungcheol menghela nafas. Ia membuka laci pertama meja nakas di samping tempat tidurnya. Ia bergeming, menatap lurus pada benda berdebu pemberian Ayahnya saat ulang tahun ke dua puluh.

Seungcheol menghela nafas, menutup kembali laci meja dan merebahkan tubuh di kasur empuknya. Ia meraih bantal kemudian memeluknya. Banyak sekali yang ia pikirkan. Perlahan, napasnya teratur, ia terlelap.

.

.

Sudah hampir 24 jam Jeonghan tidak terbangun dari tidurnya. Ia masih pucat dan peluh terus mengalir dari tubuhnya. Seungcheol semakin panik. Hari ini Ayahnya janji akan pulang, jadi Seungcheol terus membanjiri Tuan Choi dengan pesan juga telepon.

Untuk yang kesekian kalinya, akhirnya diangkat juga oleh Tuan Choi.

[Seungcheol, ada apa?]

Appa, Jeonghan tidak bangun-bangun dari kemarin, kumohon cepat pulang,”

Telepon ditutup. Seungcheol sangat meyakini Ayahnya juga panik mendengar permintaannya. Seungcheol menggenggam kedua tangannya, menutupkan mata, berdoa yang terbaik untuk Adiknya.

Lima belas menit ia menunggu sang Ayah di ruang tamu. Berharap pintu depan terbuka dengan memperlihatkan wajah Tuan Choi yang khawatir. Samar-samar Seungcheol mendengar langkah kaki, ia menoleh, mendapati Adiknya berjalan mendekatinya, dengan tatapan hampa.

“Jeonghan?” Panggil Seungcheol

Tak ada jawaban apapun yang ia terima. Hanya langkah kaki Jeonghan yang sekarang terdengar menyeramkan sebab sorot mata Jeonghan kembali berwarna keemasan. Seungcheol menelan ludahnya kasar. Ia ketakutan.

Seungcheol beranjak dari duduknya. Tidak berani mendekati Jeonghan dan hanya berjalan menjauhinya. Jeonghan berhenti kemudian menatapnya lalu tertawa. Jeonghan mengacak rambut pirangnya dengan kasar, frustrasi akan pergerakan Seungcheol yang terus berjalan menjauhinya. Seungcheol begitu berharap Jeonghan sedang bermain dengannya saat ini, tapi tentu saja tidak jika melihat sorot matanya yang aneh. Jeonghan berubah, menjadi sosok yang sama sekali tidak dikenal Seungcheol.

“Seungcheol, aku lapar,” ujar Jeonghan

Seungcheol gugup, “k-kau lapar? Mau kubuatkan makanan?”

Jeonghan menggeleng. Ia menatap Seungcheol dengan seringai menyeramkan. Seungcheol merinding melihat dua taring menjembul dari mulut Adiknya itu. Astaga, Jeonghan adalah seorang vampir. Habis sudah riwayatnya.

“Aku mau darahmu,”

Sedetik kemudian Jeonghan sudah berada di depan Seungcheol. Seungcheol membelalakan matanya, ia reflek menunduk ketika Jeonghan hendak mencekiknya. Sungguh brutal. Dengan keberanian yang ada, Seungcheol meninju perut Jeonghan yang ada di depannya. Jeonghan terpental ke sofa, meringis kesakitan. Ah, tidur yang akan mengubahnya menjadi vampir utuh sepertinya tidak mengembalikan energinya. Hei, tentu saja tidak, dia butuh darah untuk itu.

“Brengsek kau, Choi Seungcheol!” Jeonghan mengamuk

Kukunya bertambah panjang, menandakan kekuatannya tiba-tiba meningkat. Seungcheol berharap bisa berlari menuju kamarnya dan mengambil hadiah dari Ayahnya di laci meja nakas. Tapi Seungcheol juga tidak tega, ia masih berusaha menyadarkan Adiknya itu.

“Jeonghan, sadarlah!”

Jeonghan tak peduli. Ia terus mendekati Seungcheol, menariknya, menghempaskan tubuhnya. Tak menutup kemungkinan ia juga berhasil mendapatkan pukulan dahsyat dari Seungcheol yang memang belajar untuk menjadi pemburu vampir itu.

Seungcheol meraih gunting yang ada di meja kecil, ia mengarahkannya pada Jeonghan. Jeonghan terkekeh.

“Benda kecil itu tidak akan melukaiku, bodoh!”

Jeonghan kembali mendekati Seungcheol dan berhasil menggores tangannya. Jeonghan pusing dengan bau darah Seungcheol. Dia gila, dia menginginkan darah segera. Seungcheol menggertakkan giginya, sepertinya dia harus membuang rasa kasihan terhadap Adiknya demi hidupnya. Seungcheol dengan segera menancapkan gunting pada paha Jeonghan, Jeonghan berteriak kesakitan. Ia melepaskan tancapan gunting itu.

“Ah, sakit juga ternyata,”

Seungcheol membelalakkan matanya begitu melihat luka yang ia torehkan pada paha Jeonghan perlahan-lahan tertutup. Vampir sialan. Seungcheol tak peduli lagi jika dia pernah menjadi Adiknya.

Jeonghan menyeringai, sedetik kemudian dia berhasil mencekik Seungcheol yang lengah. Ia mengunci setiap pergerakan Seungcheol. Seungcheol memberontak ketika wajah Jeonghan perlahan mendekati lehernya, jantungnya berdegup kencang, dapat ia rasakan deru napas Jeonghan yang tidak sabar ingin menyantap setiap bulir darah yang mengalir dari nadinya. Seungcheol pasrah.

Hap

Seungcheol kalah.

Brak

“Lepaskan Seungcheol!”

Sial. Jeonghan melepaskan taringnya pada leher Seungcheol. Ia menoleh, kemudian menyeringai setelah mendapati siapa yang telah mengganggu acara santap malamnya itu.

“Sudah pulang, Appa?” Tanyanya kepada sosok kekar dengan senjata ditangannya

Jeonghan melempar Seungcheol yang setengah sadar sembarangan. Jeonghan menatap Tuan Choi, kemudian menatap senjata di tangan kekar orang yang pernah dia kagumi itu. Ia memperhatikan lekukan cantik pada senjata Tuan Choi, Smith & Wesson 500 Magnum, ia mengingatnya, mengingat peluru panas juga jeritan yang dihasilkan dari benda itu, yang telah membunuh kedua orang tuanya.

“Hei, Appa, ada apa ini? Kenapa kau mengancungkan senjata pada anakmu sendiri?” Tanya Jeonghan sambil menyeka sudut bibirnya yang menyisakan darah Seungcheol

“Kau bukan anakku, kau iblis, anakku tidak akan menghisap darah kakaknya sendiri,” desis Tuan Choi penuh kebencian terhadap sosok anak angkatnya yang satu itu

Jeonghan tertawa, “nah, bukan kesalahanku, dong. Aku tidak memintamu membawaku. Lagi pula, mengapa membawa anak harimau kalau tahu akan diterkam?”

Jeonghan menatap Tuan Choi dengan sorot kebencian, “terima kasih sudah membawaku pulang, Choi Seunghan-ssi,”

Detik berikutnya terjadi pertempuran hebat antara Jeonghan dan Tuan Choi.

.

.

Seungcheol membuka matanya, ia tersadar dari pingsannya. Matanya langsung mencari dua sosok yang dikhawatirkannya. Seungcheol mencoba berangkat. Pusing serta sakit pada leher kanannya. Ah, Jeonghan menghisap darahnya tadi. Ia berjalan sempoyongan, mencari sosok Ayah dan juga Adiknya. Seungcheol tak lagi berpikir dua kali, ia berjalan cepat menuju kamarnya setelah mendapati suara Ayah dan Adiknya di halaman belakang rumah. Seungcheol mengambil hadiah ulang tahun Ayahnya di laci meja nakas. Ia menelan ludah kasar. Bimbang dengan keputusannya.

“Tidak. Kau harus yakin, dia hampir membunuhmu,” ujar Seungcheol

“Membunuh siapa?”

Seungcheol tersentak, ia menoleh ke arah pintu kamarnya. Jeonghan, dengan Tuan Choi dalam dekapannya, tak berdayamungkin juga tak benyawa. Mata Seungcheol memanas, hatinya sakit, napasnya tak beraturan. Ia tertawa miris.

“Haha, haha. Begitu pentingkah balas dendam bagimu?”

Jeonghan melempar sembarangan tubuh Tuan Choi. Seungcheol membelalakan matanya tak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat.

“Hei, Choi Seungcheol. Dia membunuh kedua orang tuaku,”

Seungcheol hanya tertawa, “ya, kau benar, Ayahku membunuh orang tuamu. Dan kau-“ Seungcheol tercekat, tak sanggup melanjutkan kata-katanya, ia kesal apalagi melihat wajah Jeonghan yang tersenyum mengejeknya.

“BEDEBAH KAU YOON JEONGHAN!”

DOR

.

.

Ctak

“Aaah!”

Seungcheol meringis kesakitan begitu tak sengaja mengiris jarinya sendiri. Terdengar suara langkah menuju kearahnya.

“Ada apa, Cheol?” Tanya Jeonghan panik

Seungcheol menoleh, ia tertawa melihat wajah panik Jeonghan. Seungcheol menggeleng kemudian memperlihatkan jarinya yang berdarah.

“Aku tak sengaja mengiris jariku,” ujarnya kemudian mengobati lukanya dengan cekatan

Jeonghan tak bersuara. Seungcheol bingung dan memperhatikan Adiknya yang terihat aneh. Seungcheol menelan ludah kasar begitu Jeonghan mendekatinya, meraih tangannya, dan mengendusnya.

“Jeonghan?” Panggil Seungcheol

Jeonghan tersadar. Seungcheol mengerjabkan matanya—mencoba menenangkan pikiran buruknya–kemudian memperlihatkan lengan yang dipegang erat oleh Jeonghan. Jeonghan langsung melepaskannya kemudian mengambil air dan meneguknya kasar.

“S-Sepertinya aku harus keluar sebentar,” ucap Jeonghan

Seungcheol memperhatikan, diam-diam dia mengikuti Jeonghan dari belakang. Jeonghan berjalan menuju halaman belakang. Seungcheol terus memperhatikan.

Jeonghan mengatur napasnya, mengacak rambutnya kasar. Seungcheol kembali menelan ludahnya kasar begitu Jeonghan berlari dengan cepat ke hutan. Bayangan-bayangan aneh terlintas dalam pikrian Seungcheol. Lima belas menit kemudian, Jeonghan kembali muncul. Berbedanya, sorot matanya berubah keemasan dan sudut bibirnya mengalir darah segar. Seungcheol tercekat. Ia menutup mulutnya erat agar suaranya tak terdengar oleh Jeonghan yang mungkin saja dalam keadaan itu dapat mendengarnya lebih jelas.

Ia berjalan masuk ke dalam sebelum Jeonghan tahu dia memperhatikan. Dengan cepat Seungcheol menyelesaikan masakannya sebelum terlihat mencurigakan oleh Jeonghan. Jeonghan masuk ke dalam, memperhatikan Seungcheol.

 “Oh, waktu yang tepat. Dari mana saja kau?” Tanyanya

Jeonghan mengusap tengkuknya, “hanya mencari udara,”

.

.

Seungcheol terdiam ketika orang-orang memberi belasungkawa kepadanya. Memberi hormat juga setangkai demi setangkai bunga krisan pada abu milik Ayahnya. Pikirannya tak tahu lagi di mana. Balutan perban melilit lehernya. Orang-orang memperhatikan.Terdengar banyak orang yang datang membicarakan Jeonghan, yah, semua orang sudah tahu sekarang.

Bulir bening yang coba ia tahan sedari tadi jatuh begitu saja di pipinya. Ia tidak ingin mempercayai sosok adik yang disayanginya, tapi juga ingin mempercayai sebab kejadian yang menimpa ayahnya. Entahlah, apakah ini nyata atau hanya mimpi belaka.

.

.

“BEDEBAH KAU YOON JEONGHAN!”

Yang diteriaki hanya menyengir, manjauh hendak pergi melalui jendela kamar Seungcheol yang terbuka lebar. Seungcheol masih menahan sakit dari lehernya—akibat tusukan taring Jeonghan—juga pusing akibat kehilangan darah.

Ia mengambil hadiah sang Ayah. Merk yang sama dengan sang Ayah, juga peluru khusus yang sama dengan sang Ayah. Ia membidik Jeonghan. Jeonghan hanya menyeringai begitu mendapati Seungcheol yang perlahan kehilangan kendalinya. Dengan gemetaran ia menarik pelatuk—

DOR

detik itu juga Jeonghan jatuh keluar kemudian terbang dengan seringai di wajah. Sedangkan Seungcheol, jatuh, kembali terlemas.

Samar-samar ia mendengar suara rekan kerja Ayahnya. Mereka perlahan mulai mengerumuni Ayahnya, mengangkat jasad Ayahnya, juga mengangkat tubuhnya yang lemas tak berdaya.

.

.

.fin.

 

Hello gengs~

Tri balik dengan membawa emak dan babeh. Bias kesayangan.

Kali ini aku mencoba menantang diri bergenre fantasi dengan gaya bahasa yang berbeda. Kenapa? Soalnya akhir-akhir ini aku sering menjelajahi dunia wat*pad, dan aku di sana cenderung reader. Aku banyak banget baca fanfic yg menginspirasi terutama dalam gaya bahasa. Aku tercengang dengan permainan diksi salah satu writer di sana /lah malah curcol/. Yah, gitu deh intinya.

Dan, tada fanfic aneh bin absurd ini tercipta dengan tidak indahnya. Ah, aku nyerah. Ini aneh banget dan aku ngerasa kayak, “kamu nulis apa sih tri?”

Tapi, aku masih pengen membaginya dengan para carat pengunjung setia SVTFFI muaach :* dan klo kamu menemukan ini di lapak sebelah, terima kasih juga sudah menemukannya /laugh/

Terima kasih sudah mampir dan membaca fanfic aneh bin absurd ane~ /deep bow/

Salam,

Tri dan Mak Junghan

4 respons untuk ‘[Oneshot] Phantasmagoria

  1. Halo, salam kenal aku teaser baru, Liana 95line ^^
    Otp kesayangan nih hehe, ceritanya gereget dan mania di awal yg membuatnya (harusnya) makin pahit di akhir. Tapi nggak tau ya. Di endingnya, sakitnya si seungcheol kyk kurang berasa gitu. Tapi krn ini ff otp ,saya ttp teriak2 sendiri di awal sampe tengah2 :p
    Dirapikan lagi ya kyknya tadi ada bbrp kesalahan peletakan tanda baca.
    Keep writing!

    Suka

    1. Haluu Kak Liana~

      Kak Liana aku seneng banget.. Makasih sudah mau memberikan masukan terhadap diriku yang sedang menantang diri ini wkwk..
      Nah, aku sudah duga semua orang suka JeongCheol, xixixixi
      Iya kak, aku juga ngerasain seungcheolnya ga gimana tapi kusudah bingung dan tak tau lagi harus gimana :” Ayahnya juga matinya gimana ga aku jelasin aku bingung /ngakak/ itu juga seungcheolnya rencananya pengen aku buat jadi gila tapi kasian, terus kalo dia jadi gila juga aku bingung mau gimana membawa alur kenapa dia jadi gila, wkwkwk.. banyak banget pikiranku dan aku bingung sendiri..
      dan jadilah ff aneh ini /laugh/

      Siap kak 😀 terima kasih atas masukannya, Tri akan banyak belajar lagi ^^

      Suka

Tinggalkan komentar