[Ficlet – Series] The Dark Lullabies – Out of Schedule

picsart_12-26-12.43.27.jpg

Siapa bilang lagu-lagu pengantar tidur selalu berisikan cerita manis dan menghibur?

zero404error © 2017

The Dark Lullabies Series

-Out of Schedule-

17’s Lee Seokmin

Ficlet (±1000 words) || PG 15 || AU, slight!Dark, slight!Crime, slight!Surrealism, Angst

Warning: suicide related theme

Previously

Autumn’s Soul || The Witch’s Fault || Wars and Scars || The Devil || Hands of Time || Anthem of The Heart || Tik Tok

.

Lee Seokmin mencatat hingga ke detail yang paling sederhana.

Mulai dari awal mula kedatangannya sendiri, yang disambut dengan tatap tanpa daya dari si pemuda yang terjebak di bak kamar mandi, hingga keterangan lengkap tentang kondisi yang pemuda itu alami.

Sedikit lebih detail: pemuda itu ada di bak mandi, berpakaian lengkap, bergenang air hingga mencapai leher; sesuatu yang cukup tidak normal menimbang dia tidak berada di sungai ataupun kolam ikan (yang memberi seseorang alasan untuk tetap berpakaian lengkap untuk sekadar ceburan). Memang tidak bisa dipastikan kapan waktu awal mulanya, tetapi sepertinya cukup lama karena ini sudah hampir tengah malam dan tidak seorang pun menyadarinya.

Mungkin si bocah sudah kehabisan tenaga, atau memang dia sudah bisa menebak entitas Lee Seokmin yang sebenarnya sehingga selain lirikan singkat dan kedipan yang sangat pelan, tidak terjadi kegaduhan apa-apa (kedatangan seseorang seperti Seokmin sudah jadi rahasia publik di kota ini, dan itu sangat tidak bagus, mengurangi efek kejutan dan kengerian yang seharusnya bisa disampaikan). Berita baiknya, kedua praduga itu tidak akan berpengaruh apa-apa dengan hasil kasus yang ditangani Lee Seokmin.

“Tidak, jangan melirikku seperti itu. Aku tidak akan berusaha menyelamatkanmu. Malahan, kalau bisa, aku ingin membuat semua ini berjalan cepat dan tidak lama-lama. Supaya tidak terlalu banyak keluhan rasa sakit dan tidak terlalu banyak air yang masuk ke sepatuku. Aku benci harus menjemur sepatu di malam Minggu.”

Itu adalah rentetan kalimat yang segera diucapkan Lee Seokmin sebelum si bocah sempat mengatakan apapun. Lugas, tanpa basa-basi. Jujur saja, ini sudah lewat jam kerja Seokmin dan harusnya ini memang bukan tugasnya. Dia terpaksa di sini, karena pegawai yang sebenarnya bertugas bilang bahwa ada keperluan mendesak yang tidak bisa dipindahtangankan (padahal Seokmin tahu benar, sudah ada tiket film tentang badut mengerikan yang diam-diam disembunyikan di saku belakang). Film dan bioskop bukan sesuatu yang menyehatkan bagi Malaikat Kematian, dan Seokmin tidak terlalu menyukainya. Apa yang ada di film, dia sudah melihatnya lebih banyak, dan terkadang lebih tidak masuk akal.

Bocah laki-laki itu merintih. Seokmin sudah pernah melhat rintihan yang lebih sedih dan lebih mengiris daripada itu, jadi hatinya (kalau saja ia punya hati) tidak tergerak. Sedikit simpati, sih, mengingat dia tahu apa penyebab semua ini, tetapi dia tetap tidak bisa membenarkan tindakan semacam ini.

“Apa aku akan mati?” Si Bocah berucap, lirih. Seokmin mencatatnya di buku sebelum menjawabnya. Senyum lebar mengembang hingga kerutnya mencapai ujung mata.

“Tidak. Tentu saja tidak. Kau tidak akan mati. Aku ke sini hanya untuk sedikit ngobrol denganmu, menemanimu supaya kau tidak bosan karena, hey, Sabtu malam adalah waktu yang tepat untuk bercengkrama, kan?” Seokmin tergelak, mengeluarkan semua jenis tawa yang tidak mampu dijabarkan sensasinya sebelum menghentikan semua itu dengan efek datar dan dramatis. “Sayangnya aku bohong.”

Dia berdiri, merenggangkan kedua telapak tangan, melakukan sedikit pemanasan sebelum melakukan tugasnya di dalam kamar mandi orang.

“Kau tahu, melukai diri sendiri hingga memanggil kematian datang adalah pelanggaran pasal 783 Undang-Undang Tata Pelaksanaan Kematian Yang Prosedural. Pasal ini tidak pernah diperbaharui dan tidak ada rencana untuk direvisi sama sekali. Maka, kau tahu konsekuensinya,” suara keretak yang keluar dari sendi tangan Seokmin yang ditautkan menimbulkan rasa ngilu yang menembus hingga ke tulang, “rasa sakit yang tidak terkatakan.”

Menurut buku pedoman miliknya, pengambilan jiwa dimulai dari kaki lantas meninggi hingga batas jasmani. Ada yang bilang rasa sakitnya seperti ditusuk ribuan pedang, pun gada berduri yang merangsek masuk melalui kerongkongan. Seokmin tidak tahu rasa pastinya, bukan dia yang mengalaminya. Dia hanya melaksanakan apa yang menjadi tugasnya. Dan dia harus segera memulainya kalau tidak ingin gajinya dipotong serampangan.

Dimulai dari kaki.

“Hanya karena sesuatu tidak terasa berat untukmu, bukan berarti saat orang lain mengalaminya itu tidak berat sama sekali!”

Salah satu resiko pekerjaannya adalah Seokmin bisa mendengar gema masa lalu dan kilas balik peristiwa yang membuat semua ini terjadi.

“Kumohon berhentilah memaksakan kehendak kalian kepadaku ….”

Seokmin melihat bocah itu meringkuk di belakang pintu, kepala menyusup ke lipatan lutut yang dirangkul siku. Kedua orang tuanya berada di sisi sebaliknya, menahan amarah tanpa pernah mengerti apa yang membuat keputusan mereka tidak tepat di mata sang buah hati. Padahal, yang mereka butuhkan mungkin hanya persamaan persepsi dan banyak komunikasi.

“Tidak ada seorang pun yang percaya padaku dan tidak ada yang bisa kupercaya lagi.

“Aku benci diriku sendiri.”

“Biarkan aku menghilang ….”

Bisa dibilang, tidak ada kejadian yang sangat istimewa yang membuat bocah ini memutuskan segalanya tiba-tiba. Hidupnya biasa-biasa saja. Hanya orang tua konservatif, masa kecil yang cukup suram dengan sedikit pengucilan dari teman-teman, kesulitan beradaptasi karena trauma masa kecil, guyonan penuh tawa yang bermutasi menjadi ejekan di dalam kepalanya, gunjingan di belakang, kegagalan berulang kali, senyum palsu–tidakkah semua itu normal-normal saja bagi remaja? Lee Seokmin memiliki kesulitan yang cukup tinggi untuk berempati pada manusia.

“Semua ini salahku.”

Menyalahkan diri sendiri. Kecenderungan depresi. Tidak ada yang pernah cukup peka untuk menyadari. Kombinasi yang menawan sekali.

“Akulah yang salah.”

Mulai lagi.

“Semua ini salahku ….”

“Karena aku ada ….”

Semua gambaran memudar dalam sekejap.

“Tolong aku ….”

Lee Seokmin nyaris tidak mendengar beberapa suku kata terakhir saking lirihnya gema yang terdengar. Bibir bocah laki-laki itu kini tak lagi bergerak. Matanya setengah terbuka, tetapi tanpa cahaya. Wajahnya pucat, karena terlalu lama di air, dan karena banyaknya cairan merah yang mengalir dari luka di nadinya. Genangan yang tadinya hangat itu bahkan sudah mulai dingin saking lamanya. Oh, ya, lama kematian seseorang memang berbeda-beda, walau mungkin ada teori yang bisa menjelaskan berapa lama kau bisa bertahan jika nadimu terluka dan kau memilih bak mandi sebagai tempat untuk menunggu luka itu sembuh sendiri; catatan: tanpa ditangani ataupun diobati.

Percayalah, Seokmin lebih tahu, dia profesional tentang itu. Dan bocah itu juga belum mati. Tidak sebelum satu per sekon lagi.

Lee Seokmin segera menangkap sebuah cahaya redup yang bermanifestasi di atas tubuh bocah malang itu, memasukkannya ke botol khusus dan menghela napas saat memandang kerlip samarnya.

Ini korban yang entah keberapa bulan ini.

Badai keputusasaan merambah banyak negara selama beberapa dekade terakhir, dan alih-alih mendapat kasus normal di mana seseorang meninggal dengan tenang saat melakukan kegiatan yang paling disukainya (tidur misalnya) Seokmin lebih banyak mendapat jiwa-jiwa muda yang merasa tersesat dalam arah kehidupan mereka dan memilh untuk berhenti di sini saja karena tidak menemukan titik terang di langkah selanjutnya. Beberapa tidak sempat bertemu dengannya, beberapa hanya melihatnya seperti ilusi yang sekelebat saja, beberapa ngobrol cukup lama dengannya. Dua yang pertama, beberapa masih hidup di dunia, berjuang lagi dengan hidup mereka, seberapapun beratnya (Lee Seokmin menghormati mereka yang berjuang kembali ini); sisanya, masih belum putus asa untuk mengulang percobaan yang sama dan rupanya cukup berhasil (Seokmin biasanya memakai salah satu wujud paling mengerikan untuk bertemu kembali dengan golongan satu ini).

“Kalian salah tentang satu hal, Teman.” Dia memasukkan botol cahayanya ke saku, mengambil kembali buku catatannya dan menuliskan waktu pengambilan jiwa lengkap dengan tanda tangan petugas, lantas bergumam pelan, “Kematian tidak akan datang hanya karena kalian mengundangnya. Dia akan datang karena memang sudah saatnya.”

Fin.

Kayaknya sudah pernah mengambil tema ini tapi ah entahlah sudahlah orz (efek terlalu banyak melihat Mahiro Takasugi).

 

3 respons untuk ‘[Ficlet – Series] The Dark Lullabies – Out of Schedule

  1. NEOMU JOHAAAAAA
    bagus banget kak suka bgt Seokmin yg karakternya ditwist begini terus dia jadi grim reaper dooong tapi gatau knp malah ngebayangin dia pake jas item sama topi lebarnya grim reaper di goblin hahaha
    Tapi blkgan ini fic ttg depresi menjamur ya aku sendiri kemakan trendnya pake trauma kemarin
    Anyways, Krn mengalami hidup yg selalu bahagia aku jadi susah berempati juga kyk Seokmin Like masih beranggapan bahwa bunuh diri apapun alasannya adalah dosa. Walaupun beberapa kali pernah kepikiran juga tapi ya sambil lalu aja
    Mati ada undang2 nya ya Tuhan
    Keep writing!

    Disukai oleh 1 orang

    1. Waaa, tengkyuuu liii sudah mampir dan menyukai sukimin/salah/

      Aku malah g tau bayangin seokmin pakai baju apa pas bikin fic ini orz, karena keliatannya grim reapernya goblin udah hitz banget jadi langsung kebayangnya ke sana yha (seokmin-grim-reaper-gantheng-AU!-oke-sip)

      Mungkin lagi ada gelombang depresi yang melanda kancah perfanfiksian masa kini/g/ apalah yg sejak awal genreku gini-gini aja li ;_;, tolong aku untuk keluar dari pusara kegelapan ini (insert stiker james berlinang air mata)

      Hidupku bermacam macam warnanya /_\

      Tengkyu udah mampir \^-^/

      Suka

Tinggalkan komentar